KEKO MONA WEO! NDORA, KITA PUNYA BABHO YANG LEBIH BERMARTABAT SEBELUM MEMAKAI HUKUM POSITIF

(Catatan 'rumpu rampe' setelah cerita seberang) 

Sudah hampir sebulan lebih saya sering
dicurhati oleh beberapa orang dari kampung ( Ndora - Aegela ) terkait sengketa lahan, warisan bahkan ada beberapa diantaranya yang secara terang menyebut kalau urusan keka bo'a, ulu eko mereka diintervensi oleh 'orang - orang' yang dalam tulisan ini saya sebut kelompok Jakarta (Mereka menyebut beberapa nama yang saya kenal baik dan saya sendiri masih meragukan soal intervensi dan keterlibatan kelompok Jakarta). Curahan hati mereka, cukup membuat saya terenyuh dan sebagai putera daerah yang berdomisili di Jakarta dengan profesi saat ini sebagai advokat (Pengacara) tentu tersimpan di hati kecil saya, ada begitu banyak amarah jika betul perilaku intervensi ala kelompok Jakarta sudah masuk dan turut mencampuri urusan tolo sa'o kami. Saya amat marah, apalagi nama - nama yang disebutkan itu saya kenal dengan sangat baik yang hemat saya tidak mungkin melakukan hal kotor itu (Intervensi dan backing mem - backing). Sepemahaman saya, orang - orang daerah di Jakarta selalu wise dan memberi solusi yang teduh lagi bijak, bukan mengintervensi ala kelompok Jakarta yang dikisahkan ke saya itu, tetapi lain soal cerita - cerita yang saya dapatkan itu terus saya pelajari.

Kita muzi ne'e keka bo'a ulu eko, kita punya banyak tokoh - tokoh mumpuni untuk menyelesaikan semua persolan yang bersinggungan dengan urusan adat dan budaya, kita punya gege meze lago lewa, punya juga mosa nua laki ola,  jadi jangan kita gadaikan te'e meze, teda lewa kita untuk orang lain siapapun dia yang masuk dan mencampuri keputusan loka meze kita yang saya sebut Ndora. 

Kecenderungan kita yang selalu membawa orang - orang 'ber-label' dari Jakarta guna menempel kepentingan kita justru merugikan kita secara langsung. Kita akan mengalami erosi secara budaya dalam hal penyelesaian sengekta ulayat, warisan atau problem lainnya melalui pendekatan budaya sebagai satu - satunya mekanisme penyelesaian secara adat. Perlahan kita akan kehilangan identitas 'Ulu Bidoa,  Eko Pagomogo, Ulu Papa Pulu, Eko Papa Pongo Bhila Pui Sa Toko', semboyan pemersatu ini perlahan akan mengalami pergeseran secara nilai jika kita gagal mempertahankan dan meneruskan seruan ini. Ingat, intervensi urusan adat kita oleh pihak di luar kita tidak pernah membawa keuntungan secara sosiologis atau secara budaya, masalah kita hanyalah obyek yang dipakai sebagai pintu masuk untuk menguasai aset (Tana watu) yang kita punyai. Kalau di Jakarta selalu ada istilah 'tidak ada makan siang gratis'!  Kita ma'e mu mete orang - orang Jakarta gratis membantu jika tidak ada hitung hitungan. Hal ini sudah terbukti banyak, saat mudik libur tahun kemarin selama kurang lebih 2,5 bulan hingga 3, bulan saya saksikan sendiri ada begitu banyak lahan/tanah yang diberikan secara gratis atau dijual dengan harga yang sangat tidak toleran kepada kelompok Jakarta bahkan tanah ulayatpun dijadikan jaminan atau bagian dari transaksi politik yang jelas - jelas penguasaan atas hak ulayat dan seterusnya adalah kewenangan penuh dalam suku bukan pada orang perorangan yang menduduki lahan atau tanah ulayat terebut, bagi saya ini bencana, ini mala petaka. Kita peli keze ada hari dimana kita akan menjadi orang asing di tanah kita sendiri kemudian eksesnya untuk kita, be'o - be'o, jaga - jaga, go moko ma'e tolo bhogo, go ata ma'e tolo ala. Pese tenu ine ame kita, ta mata ulu be'o lo'e --- be'o tana ka watu pesa ---- ini pesan sakral yang mempunyai daya magis kuat dalam bahasa atau sumpah adat. 

Ngaza kita ne'e keka bo'a ulu eko, ne'e sa'o meze teda lewa, ne'e sa'o lange, wewa ngeka kemudian untuk apa kita menggadaikan mosa bo'a, laki ola kita pada orang lain? Atau bagaimana mungkin kita menukarkan tanah watu, keli wolo dengan pata pele, ae ngasi yang bisa kita temukan one tolo sa'o kita sendiri? Apakah kita kekurangan tokoh adat dan tokoh masyarakat yang mampu meramuh semua perbedaan guna menemukan solusi? Jangan kita terbius dengan pendekatan ala kelompok Jakarta, saya menyimpan 1000% keyakinan bahwa semua persoalan yang berurusan dengan masalah ulayat, warisan atau adat lainnya yang terikat dalam lingkup istiadat bisa kita selesaikan sendiri. Sebelum persoalan kita diselesaikan secara ketatanegaraan, sebagaimana di masyarakat ada orang per orang yang dipercayakan sebagai simbol pemerintah, baik RT,  RW, Dusun atau Desa yang kita percayakan sebagai orang - orang dengan sebutan 'wuku ulu, enga eko, secara kultur kita mempunyai mosa laki, tokoh adat, tokoh agama, ketua suku, anak suku dll yang terafiliasi dalam LPA ( Lembaga Pemangku Adat ) bisa kita perdayakan sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan internal keka bo'a, ulu eko kita. 

Bahwa kita memiliki kekuatan secara kultur yang selaras dengan semboyan ulu eko kita untuk menyelesaikan persoalan atau berbagai problem di lingkungan besar kita, haruslah tetap kita kuatkan agar terhindarkan kita dari setiap hal yang merugikan kita sebagai masyarakat adat --- Gods dientige wetten, volks instellingen en gebruiken ----  ( Peraturan - peraturan keagamaan, lembaga - lembaga rakyat dan kebiasaan - kebiasaan ) harus kita manfaatkan dengan baik dan bijak. Hal lain jika secara kultur tidak mampu kita selesaikan maka kita tidak memiliki alasan lain untuk tunduk pada hukum dan aturan tertulis dari negara melalui peraturan yang terkodefikasi dan berlaku umum. Dengan kata lain hukum pidana (Wetboek van strafrecht), hukum perdata (Burgelijk wetboek), hukum acara perdata (Reglement op de rechsvorsering) adalah opsi kedua setelah secara ada kita tidak menemui titik penyelesaian, kita bahkan mempunyai mekanisme adat yang jauh lebih hebat daripada penyelesaian menggunakan hukum positif dalam tataran praksis dengan pendekatan --- Babho ---. 

Cerita yang saya dapatkan dari masyarakat adat soal backing mem - backing atau menggandeng kekuatan ala kelompok Jakarta sungguh jika benar adanya, maka hal ini sangat memalukan dan amat melukai hati masyarakat adat Ndora secara umum. 

Saya jadi ingat dulu saat masih SMP,  di Ndora dihebohkan oleh ucapan konyol tidak memiliki nilai edukasi. Salah satu tokoh dari Nagekeo di Jakarta melalui pernyataan yang cukup menggelikan dan tidak etis sebagai seorang intelektual, saat itu olehnya dalam satu pertemuan yang dihadiri oleh orang - orang Nagekeo Jakarta berlokasi di salah satu restoran di Jakarta, beliau mengomentari soal suku - suku yang ada dan mendiami wilayah Nadora besar. Salah satu suku yang disebut itu sengaja dipelesetkan atau memang ketidak pahaman soal strata adat di Ndora besar, dalam diskusi itu suku Naka Kowe dan Naka Nunga kemudian dipleset menjadi suku Naka Kobe dan Naka Leza yang identik dengan praktek pencurian. Sontak ucapan itu sangat memalukan dan membentuk persepsi publik bahwa di Ndora ada suku yang mempraktekan curi - mencuri ( Untungnya saat itu tekhnologi komunikasi belum secanggih saat ini sehingga tidak terlalu berdampak pada masyarakat umum ), pengalaman itu mendegradasikan martabat masyarakat adat Ndora dan buat saya itulah kegagalan dalam membangun komunikasi ala 'kelompok Jakarta' yang cenderung Jakartacentris tetapi tidak mempertimbangkan faktor sosiologis penduduk lokal. 

Kejadian diatas memberi warna kepada kita masyarakat adat  Ndora, bahwa tidak semua urusan 'podo kula, bhaco lama' kita orang Ndora harus kita tempelkan kepada orang lain yang sangat tidak memahami ulu eko kita. Kita mampu menyelesaikan urusan keka bo'a kita tanpa melibatkan orang lain secara arif dan bijaksana, jika ada orang luar Ndora yang mau membantu kita menemukan solusi pada persoalan kita, boleh saja kita terima, tetapi tidak lebih dari ngene lime, ka'e azi moko doa atau tu'a ka'e eja azi, karena dengan alasan apapun tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka ( Kelompok Jakarta ) kita memiliki filosofi kultur sebagai warisan budaya untuk menyelesaikan urusan internal kita sendiri tanpa diintervensi. 

Tahun kemarin saat saya mudik ke kampung ( Ndora - Aegela ) untuk berlibur, saya mengamati dengan sungguh - sungguh dari dekat, mencoba ngobrol dengan beberapa warga bahkan ada beberapa yang datang menemui saya jauh - jauh dari Pagomogo - Lena - Tua Nio ( Salah satu wilayah di Ndora ) hanya sekedar meminta saran terbaik terhadap persoalan yang mereka hadapi. Rata - rata persoalan yang mereka hadap adalah persoalan tanah dan warisan dan sebagian besar dari mereka yang menemui saya hampir dipastikan lahan - lahan mereka dikuasai oleh beberapa orang yang mempunyai power, kemudian dibelakangnya juga dibacking oleh kelompok Jakarta. Mereka berkeluh berbagi dalam cerita -----  'Ema e, kami ni mona be'o mo'o ngasi tei apa wali, tana watu kami woso ta ni teka bholo kami mona be'o prose teka lela. Kami so mo ngale atau ala walo paimu poto tuzu ata zili mai Jakarta ( Sembari menyebut beberapa nama ) ta ne'e paka ae. Kami susah tebhe, kami ni peli bedhe oga ana' ------  'Anak e, kami tidak tau kepada siapa kami akan cerita, lahan tanah kami diambil orang yang mengaku punya kekuatan dan dibacking oleh orang dari Jakarta, mereka jual lahan kami tanpa kami ketahui atau melibatkan kami. Kami benar - benar susah terpaksa kami ikut saja' ------. Cerita - cerita ini hanya sebagian kecil saja, ada beberapa kasus lagi yang disampaikan ke saya urung diselesaikan karena diduga kelompok Jakarta ikut nimbrung dalam proses hukumnya. 

Oleh karenanya penting bagi kita orang Ndora dimanapun, kita memiliki tanggungjawab yang sama untuk menjaga marwah istiadat kita. Kalau kita amati, ada banyak orang - orang dengan sumber daya yang mumpuni dari Ndora, baik di struktur birokrat atau di sektor lainnya, kita juga memiliki struktur adat yang kuat dengan warisan yang hebat, kita punya banyak cerita herois soal perang ekspansi lahan atau tanah dari ine ame ebu kajo. Menjadi pantang bagi kita menggadaikan ulu eko kita, sa'o meze kita atau bahkan teda lewa kita untuk orang - orang yang tidak memiliki ikatan emosional atau secara historical dengan kita. Kita harus berani menolak setiap bentuk kompromi yang membenturkan kita, karena semangat na'a ana, pebe ebu yang kita terima sebagai warisan dari leluhur kita itu bukan 'Eko papa lebho, ulu papa puku'! Kita punya khasana yang luar biasa dengan semangat kekeluargaan tanpa melibatkan pihak lain untuk menyelesaiakan segala urusan yang membeli kita. 

Kalau dalam hukum positif yang kita praktekan selama ini baik pada aspek perdata ( Privaatrecht ) atau aspek pidana ( Publiekrecht ) untuk menyelesaikan persoalan dengan pendekatan perdata atau pidana semisalnya ganti rugi/ganti untung secara keperdataan dan kurungan badan atau sanksi sosial secara pidana maka kita di Ndora jauh sebelum itu saya yakini dalam hukum adat juga mengatur soal aspek perdata ( Privaatrecht ) atau aspek pidana ( Publiekrecht ) dalam konteks adat, semisalnya 'waja' sebagai ganti kerugian/ganti untung dalam aspek keperdataan apabila ada pihak - pihak, orang perorangan atau secara pribadi mengalami kerugian berupa harta atau sesuatu yang bisa dinilai dengan materi dengan demikian pendekatan adat melalui 'waja' adalah solusinya. 

Kemudian dalam istilah adat lainnya yang mempunyai kedekatan dengan sanksi pidana tetapi diselesaikan melalui jalur adat ada sebutan yang nayris hilang saat ini 'bo tada', istilah adat ini tadinya dipraktekan dalam struktur masyarakat secara umum untuk pelaku pencurian yang dalam hukum positif masuk kedalam kualifikasi dengan hukum pidana, tetapi dalam hukum adat diselesaikan secara adat walaupun klasifikasinya pencurian memiliki pertanggungjawaban karena masuk delik pidana.  Ini menggambarkan bahwa hukum - hukum positif sebagian sudah terakomodir dengan baik dan berjalan paralel dengan praktek - praktek dalam hukum adat. 'Waja dan bo tada' adalah representasi dan model penyelesaian persoalan hukum kita tanpa melibatkan orang lain di luar wilayah Ndora atau bahkan dalam hal pengambilan keputusan sangat menjaga warisan luhur istiadat kita dan jauh dari backing mem - backing dan atau intervensi siapapun, kita memiliki otonomi atas kepentingan masyarakat adat kita sendiri. 

Curahan hati sebagian orang yang saya terima baik lewat telephon atau secara langsung saat liburan kemarin memberi kesan yang kuat kepada saya, bahwa kita sebagai orang Ndora perlahan akan kehilangan jati diri adat dan budaya, akan ada masa dimana anak cucu kita hanya jadi penonton di tanahnya sendiri, sumber daya ( Tana watu, keli wolo ) kita perlahan akan dikuasai, kita tidak lagi menjadi pemilik atas tana watu sendiri, hidup dan keputusan penting kita akan di kontrol oleh orang lain. Kita perlu menghidupkan kembali warisan leluhur kita, simpan saja Wetboek van strafrecht, Burgelijk wetboek, Reglement op de rechsvorsering mari kita pakai privaatrecht dan publiekrecht dengan sentuhan hukum adat agar sa'o lange wewa ngeka, keka bo'a ulu eko dan sa'o meze teda lewa kita tetap terjaga dan teruslah diwariskan. 

Tawaran paling logis hari ini untuk kita generasi muda Ndora adalah keberanian kita untuk menolak setiap bentuk campur tangan pihak manapun dalam menyelesaikan dan mengelolah persoalan kita sendiri, sebisa mungkin bawalah semua persoalan lokal kita dengan pendekatan - pendekatan dan penyelesaian secara budaya sebelum memilih opsi hukum positif secara ketatanegaraan melalui peradilan umum dan hukum positif yang baku dan berlaku umum. 

Terakhir, sebagai salah satu orang Ndora di perantauan ( Jakarta ) tidak ada pilihan lain selain kita ne'e te'e meze teda lewa, kita juga masih punya gege meze lago lewa dan kita juga  masih mempercayai warisan adat kita melalui mereka yang kita sebut sebagai wuku ulu enga eko guna mendudukan kita, agar bisa menyelesaikan semua persoalan yang membelit ulu eko kita. 

Salam
Benediktus Daga, SH
Jawa Barat, Jumat 15 Maret 2019
Diambil dari: FACEBOOK

Comments