Kernek (Konjak)


Percayakah anda jika saya katakan bahwa sebagian dari teman - teman saya dulu terobsesi jadi konjak?

Jika anda tiada percaya maka sejujurnya aku katakan padamu bahwa sesungguhnya kami dulu memang seperti itu. Saya adalah salah satu anak kampung paling keren yang pernah punya mimpi begitu.""Percayalah sayang, aku sungguh - sungguh". Yang terakhir ini saya tiru gaya merayu-nya teman SMP saya yang tak sudi saya sebutkan namanya.


Jadi, begini. Jaman kami SMP dan SMA dulu  "konjak bemo kota" di Ende itu penampilannya keren - keren. Pake celana jeans yang ada tambahan kain berbentuk huruf V di bagian kakinya (biar komprang), kemeja disisip bagian depan, sandal jepit yeye disikat bersih, anting - anting dari jarum pentul yang dipotong setengah (bagian tajamnya), duduk manis di pintu oto sambil bertereriak elegan " jaya mlati - jaya melati ( maksudnya angkot - kami biasa sebut bemo - itu jalurnya ke jalan Wirajaya dan jalan Melati).

Sudah begitu, gebetan kaum konjak ini pada umumnya bening - bening semua. Coba saja pedekate yang mulus - mulus di sekolah, pasti akan dapat info terkini dari teman dekatnya kalo do'i udah punya gebetan. Saat ditelusuri lebih jauh, rata - rata pacar mereka konjak dan sopir bemo. Gila kan coy? Nah, kalo sudah begitu kita yang sebetulnya keren tapi tidak bisa bawa oto atau belum sempat jadi konjak ini bisa apa?

Karena alasan itulah, banyak teman - teman saya yang sekolah sambil kerja. Kerjanya jadi konjak tembak. Syukur - syukur kemudian naik level jadi sopir tembak. Tapi, jika sudah naik level ke sopir tembak biasanya mereka lupa kalo mereka masih sekolah.

Melihat teman - teman saya yang nyambi jadi konjak punya pacar cakep semua, sayapun akhirnya pengen juga untuk nyambi jadi konjak. 

Sebagai konjak pemula, yqng pertama saya rubah adalah penampilan. Sendal jepit kesayangan saya sikat bersih - bersih, meskipun bagian yang berwarna putihnya tinggal sebagian, sebagiannya lagi tergerus injakan kali. Sudah begitu, tali pada bagian depan untuk jepitan jari sudah saya ganti dengan tali lilitan kursi jaman dulu (sice). Tak apa. Yang penting masih keren.

Setelah itu celana jeans satu - satunya saya belah di bagian kaki, lalu ditambal lagi dengan tambahan kain celana training yang dibuang tetangga. Kemeja kedodoran yang dikasih oleh kakak saya cuci dan seterika rapi. Setelah semuanya beres, saya minta Om Domi yang bemonya sering dipake untuk naik ke kampung menjadikan saya konjak tembaknya. Om Domi setuju. 

Sejak jadi konjak tembak, saat jalan di kelas bahu sedikit saya naikan, lalu lengan dibuat agak terbuka. Ini gaya khas ana Ende "kalo su mulai gara - gara atau seni - seni banyak".
Setelah seminggu jadi konjak tembak, saya coba pedekate dengan teman sekelas yang sudah lama saya incar tapi tak pernah ada tanggapan. Hasilnya, sama saja dengan sebelum - sebelumnya. Tiga hari pedekate intensif berbuah senyum beku seperti sedia kala. Sialan!

Jengkel dengan teman sekelas sok cantik itu, saya coba pedekate dengan teman beda kelas tapi seangkatan. Sama juga. Saya tambah jengkel. Tapi meskipun jengkel saya coba postif thinking saja. Mungkin karena satu sekolah mereka semua sudah anggap saya seperti saudara. Akhirnya saya putuskan untuk menoba pedekate di sekolah tetangga. Gadis hitam manis dengan lesung pipi sangat dalam di SMA sebelah jadi incaran. Hasilnya tidak jauh beda. Nehi, katanya!! 

Karena penasaran saya coba cari tau apa yang bikin mereka tolak saya. Jadi konjak, sudah. Celana, sudah komprang. Penampilan, sudah berubah. Apalagi yang kurang? 

"Masalahnya kaka konjak bemo Horas na. Itu bemo untuk mama - mama numpang pi pasar kaka. Bukan untuk anak sekolah "reit" (pesiar/nangkring di angkot untuk putar2 kota secara gratis). Konjak bemo musik tidak ada begitu sapa yang mau kaka", teman akrab dari cewek sekolah tetangga itu menjelaskan pada saya dengan "muka kasihan".

"Sial apa ngero! Su kasih tabelah itu "levis" baru tidak ada yang mau lagi!"

Sejak saat itu saya berhenti terobsesi jadi konjak!!


Comments